Gambyong Senja Rejowinangun
Karya : nataustin_
Bagiku, sosok ibu sudah mati diusiaku yang kelima. Sejak
kepergiannya, semuanya berubah. Ayahku, kakakku, semuanya berubah. Pun diriku
juga berubah. Semuanya memburuk. Ayah suka mabuk-mabukan. Kakakku mengonsumsi
narkoba. Dan aku, entahlah. Menjadi lebih mandiri, namun emosional.
Di usiaku yang ke-17, aku memutuskan untuk minggat. Untuk
apa bertahan jika kau tidak punya setitik pun alasan untuk bertahan? Ayah yang
dahulu pernah menjadi alasanku bertahan justru keberadaannya mulai kuragukan.
Kakak yang seharusnya menjadi penyemangatku justru merusak masa depannya
sendiri. Ibu yang pernah aku sayangi melebihi apapun, pergi begitu saja. Aku
muak dengan semua ini. Aku muak dengan ayah yang terus menerus pulang malam dengan
bau alkohol menyeruak dari mulutnya. Aku muak melihat kakakku yang teler. Aku muak dengan hidup yang tak sesuai
ekspektasiku.
Di sinilah aku, Kampung Rejowinangun. Entah apa yang
membawaku ke tempat ini. Rasanya, hatiku yang membawa kaki ini melangkah.
Sejuk. Menenangkan. Alunan gamelan bersenandung mengiringi setiap langkah
kakiku. Anak kecil berlarian ke sana kemari. Burung berkicauan. Angin sepoi-sepoi.
Tanpa sadar, senyum kecut nampak di bibirku. Aku menengadah, berharap air mata
ini tidak menetes. Andai saja masa kecilku seindah masa kecil mereka. Riang,
tanpa beban.
Kakiku terus melangkah menuju sumber suara gamelan. Sudah
lama aku tak menari dengan iringan gamelan. Aku masih ingat setiap kali ibu
mengajariku menari di usiaku yang baru menginjak tiga tahun. Dengan penuh
kesabaran, ia mengajariku. Menuntunku mengikuti setiap ayunan tubuhnya yang
luwes. Aku sungguh merindukannya. Merindukan ibu yang mengasihi aku, setidaknya
sampai aku berumur lima tahun. Entah setan apa yang menghantuinya, ia begitu
saja meninggalkanku.
Pendopo Ronggonegoro, cukup besar untuk kampung kecil
seperti Rejowinangun. Banyak anak kecil berlatih tari Gambyong, tarian yang aku
pelajari dari sosok ibu. Mataku bergerak menyusuri pendopo. Menatap satu demi
satu penari-penari kecil yang lucu. Hingga mataku berhenti di satu titik, pengajar
berambut panjang yang sedang menatap manik mataku. Kami saling beradu pandang. Tubuhnya
tak berhenti menari, namun matanya terus menatapku. Gerakan tangannya sangat
luwes, persis dengan gerakan tangannya. Senyumnya menawan. Sorotan matanya yang
tajam mampu menenangkan hatiku. Pipiku menghangat. Aku menangis.
*
“Pergi dari sini!”, teriaknya sambil membanting
barang-barang di sekitarnya.
“Kau tak berhak mengurus anak-anak. Aku mendapatkan hak
asuh atas mereka.” Air mata mengalir membasahi pipi seorang wanita. Mati-matian
ia mempertahankan gadis kecil dan kakaknya yang sedang menangis. Kedua bocah
itu nampak takut. Tak tahu apa yang terjadi. Tak tahu harus berbuat apa.
“Aku memang kalah dalam persidangan tadi. Tapi, aku tetap
tak rela kalau mereka dibesarkan olehmu, Mas. Kamu tidak bisa menjaga mereka.
Bagaimana mungkin anak kecil seperti mereka bisa tumbuh dengan baik jika mereka
tinggal dengan seorang ayah pemarah dan peminum sepertimu?” teriaknya. Dadanya
naik turun. Tangannya menggenggam, menahan amarah.
“Keluar kamu! Kamu tidak berhak atas mereka. Pergi! Atau
kupanggil polisi karena kamu berusaha merebut mereka!” teriaknya sambil terus
melempar barang ke arah wanita itu.
“Jangan pernah menemui aku jika ingin anakmu selamat!”
Wanita itu pergi. Tak ingin anak-anaknya tersiksa.
*
“Cah Ayu[1]!” suara lembutnya
memenuhi pendengaranku. Hatiku sesak. Pelupuk mataku menghangat. Tangis
menyeruak dari mataku, lagi. Tak mau terlihat lemah, aku memutuskan untuk
berlari. Ia mengejarku dan mendekapku dari belakang. Seketika, rasa hangat
menjalar di sekujur tubuhku. Aku merindukan pelukan ini. Rasanya, aku pernah
mendapatkannya, sebelum semuanya memburuk. Aku kenal dia. Ya, aku kenal dia.
Dia yang mengajariku tari Gambyong.
*
“Hak asuh anak jatuh kepada Bapak Sutrisno,” ketukan palu
tiga kali mengesahkan keputusan hakim atas kasus perceraian Sutrisno dan
Jumiati. Wanita itu bergegas mengusap air matanya dan berlari keluar. Marah
tidak mengubah segalanya. Keputusan hakim tidak akan berubah. Wanita itu
memutuskan untuk pulang dan mengemasi barangnya. Ia hendak kabur dan membawa
kedua anaknya. Namun seribu sayang, suaminya datang sebelum ia sempat membawa
kedua anaknya pergi.
*
Dia ibuku. Ibu yang pernah menjadi satu-satunya alasan aku
bertahan. Ibu yang juga pernah menjadi satu-satunya alasan aku kecewa dan tidak
ingin melanjutkan hidup. Entah, aku tak tahu harus berbuat apa. Marah karena ia
meninggalkanku di saat aku membutuhkan kasih sayang seorang ibu? Atau senang
karena bisa bertemu kembali dengannya? Aku hanya berdiam diri. Membalikkan
badan untuk membalas pelukannya pun aku tak sanggup. Mulutku terkunci.
Pertanyaan yang ada di benakku hilang begitu saja ketika aku bertemu dengan
dia.
“Dia membayar hakim itu. Ibu tak bisa mengelak. Sepurane[2], Cah Ayu! Ibu tidak bisa mempertahankan
kalian. Jika Ibu tetap membawa kalian, Ibu justru akan kehilangan kalian. Ibu
tidak punya pilihan. Sepurane, Cah Ayu! Ibu sangat menyayangi kalian.
Ibu tidak bermaksud untuk meninggalkan kamu dan kakakmu,” sesalnya. Pertahananku
runtuh. Aku terlalu kecil untuk memahami kebobrokan ayah waktu itu.
“Pangapunten[3], Bu! Aku sadar... kalau
Ibu terpaksa melakukannya demi keselamatanku dan kakak. Maaf kalau aku pernah
membenci Ibu. Maaf kalau aku sempat kecewa dan tidak mau memikirkan Ibu lagi.
Maaf kalau aku sempat berpikir bahwa Ibu jahat. Pangapunten, Bu! Sekarang aku sadar, mengapa Ibu harus
meninggalkanku,” tangisku pecah. Dua belas tahun aku tidak berjumpa dengannya.
Aku berusaha membangun benteng pertahanan. Aku menolak untuk memikirkannya.
Namun, satu pelukan ini cukup. Cukup untuk meruntuhkan benteng pertahanan yang
sudah kubangun bertahun-tahun. Cukup untuk membuktikan ketulusan hatinya. Aku
berbalik. Memeluknya erat. Takut kalau aku harus kehilangan dirinya untuk kedua
kalinya.
“Tak apa, Kinanthi. Ibu yang salah. Seharusnya, Ibu
memperjuangkanmu. Sebagai permintaan maaf, mau menari dengan Ibu?” tanyanya
dengan senyum yang meneduhkan. Tarian Gambyong di langit senja Rejowinangun, bukti
ketulusan cinta antara aku dan ibu, sosok yang akan menjadi alasanku bertahan,
mulai saat ini.
tinggalkan jejak di kolom komentar dan like
laisser une trace <3
No comments:
Post a Comment