Look at this!

Tuesday, April 16, 2019

Cerpen Kasih Sayang

Berikut adalah contoh cerpen bertemakan kasih sayang yang berlatarkan di daerah Rejowinangun. Jangan lupa beri like dan comment.

Gambyong Senja Rejowinangun

Karya : nataustin_


            Bagiku, sosok ibu sudah mati diusiaku yang kelima. Sejak kepergiannya, semuanya berubah. Ayahku, kakakku, semuanya berubah. Pun diriku juga berubah. Semuanya memburuk. Ayah suka mabuk-mabukan. Kakakku mengonsumsi narkoba. Dan aku, entahlah. Menjadi lebih mandiri, namun emosional.
            Di usiaku yang ke-17, aku memutuskan untuk minggat. Untuk apa bertahan jika kau tidak punya setitik pun alasan untuk bertahan? Ayah yang dahulu pernah menjadi alasanku bertahan justru keberadaannya mulai kuragukan. Kakak yang seharusnya menjadi penyemangatku justru merusak masa depannya sendiri. Ibu yang pernah aku sayangi melebihi apapun, pergi begitu saja. Aku muak dengan semua ini. Aku muak dengan ayah yang terus menerus pulang malam dengan bau alkohol menyeruak dari mulutnya. Aku muak melihat kakakku yang teler. Aku muak dengan hidup yang tak sesuai ekspektasiku.
            Di sinilah aku, Kampung Rejowinangun. Entah apa yang membawaku ke tempat ini. Rasanya, hatiku yang membawa kaki ini melangkah. Sejuk. Menenangkan. Alunan gamelan bersenandung mengiringi setiap langkah kakiku. Anak kecil berlarian ke sana kemari. Burung berkicauan. Angin sepoi-sepoi. Tanpa sadar, senyum kecut nampak di bibirku. Aku menengadah, berharap air mata ini tidak menetes. Andai saja masa kecilku seindah masa kecil mereka. Riang, tanpa beban.
            Kakiku terus melangkah menuju sumber suara gamelan. Sudah lama aku tak menari dengan iringan gamelan. Aku masih ingat setiap kali ibu mengajariku menari di usiaku yang baru menginjak tiga tahun. Dengan penuh kesabaran, ia mengajariku. Menuntunku mengikuti setiap ayunan tubuhnya yang luwes. Aku sungguh merindukannya. Merindukan ibu yang mengasihi aku, setidaknya sampai aku berumur lima tahun. Entah setan apa yang menghantuinya, ia begitu saja meninggalkanku.
            Pendopo Ronggonegoro, cukup besar untuk kampung kecil seperti Rejowinangun. Banyak anak kecil berlatih tari Gambyong, tarian yang aku pelajari dari sosok ibu. Mataku bergerak menyusuri pendopo. Menatap satu demi satu penari-penari kecil yang lucu. Hingga mataku berhenti di satu titik, pengajar berambut panjang yang sedang menatap manik mataku. Kami saling beradu pandang. Tubuhnya tak berhenti menari, namun matanya terus menatapku. Gerakan tangannya sangat luwes, persis dengan gerakan tangannya. Senyumnya menawan. Sorotan matanya yang tajam mampu menenangkan hatiku. Pipiku menghangat. Aku menangis.
*
            “Pergi dari sini!”, teriaknya sambil membanting barang-barang di sekitarnya.
            “Kau tak berhak mengurus anak-anak. Aku mendapatkan hak asuh atas mereka.” Air mata mengalir membasahi pipi seorang wanita. Mati-matian ia mempertahankan gadis kecil dan kakaknya yang sedang menangis. Kedua bocah itu nampak takut. Tak tahu apa yang terjadi. Tak tahu harus berbuat apa.
            “Aku memang kalah dalam persidangan tadi. Tapi, aku tetap tak rela kalau mereka dibesarkan olehmu, Mas. Kamu tidak bisa menjaga mereka. Bagaimana mungkin anak kecil seperti mereka bisa tumbuh dengan baik jika mereka tinggal dengan seorang ayah pemarah dan peminum sepertimu?” teriaknya. Dadanya naik turun. Tangannya menggenggam, menahan amarah.
            “Keluar kamu! Kamu tidak berhak atas mereka. Pergi! Atau kupanggil polisi karena kamu berusaha merebut mereka!” teriaknya sambil terus melempar barang ke arah wanita itu.
            “Jangan pernah menemui aku jika ingin anakmu selamat!”
            Wanita itu pergi. Tak ingin anak-anaknya tersiksa.
*
            Cah Ayu[1]!” suara lembutnya memenuhi pendengaranku. Hatiku sesak. Pelupuk mataku menghangat. Tangis menyeruak dari mataku, lagi. Tak mau terlihat lemah, aku memutuskan untuk berlari. Ia mengejarku dan mendekapku dari belakang. Seketika, rasa hangat menjalar di sekujur tubuhku. Aku merindukan pelukan ini. Rasanya, aku pernah mendapatkannya, sebelum semuanya memburuk. Aku kenal dia. Ya, aku kenal dia. Dia yang mengajariku tari Gambyong.
*
            “Hak asuh anak jatuh kepada Bapak Sutrisno,” ketukan palu tiga kali mengesahkan keputusan hakim atas kasus perceraian Sutrisno dan Jumiati. Wanita itu bergegas mengusap air matanya dan berlari keluar. Marah tidak mengubah segalanya. Keputusan hakim tidak akan berubah. Wanita itu memutuskan untuk pulang dan mengemasi barangnya. Ia hendak kabur dan membawa kedua anaknya. Namun seribu sayang, suaminya datang sebelum ia sempat membawa kedua anaknya pergi.
*
            Dia ibuku. Ibu yang pernah menjadi satu-satunya alasan aku bertahan. Ibu yang juga pernah menjadi satu-satunya alasan aku kecewa dan tidak ingin melanjutkan hidup. Entah, aku tak tahu harus berbuat apa. Marah karena ia meninggalkanku di saat aku membutuhkan kasih sayang seorang ibu? Atau senang karena bisa bertemu kembali dengannya? Aku hanya berdiam diri. Membalikkan badan untuk membalas pelukannya pun aku tak sanggup. Mulutku terkunci. Pertanyaan yang ada di benakku hilang begitu saja ketika aku bertemu dengan dia.
            “Dia membayar hakim itu. Ibu tak bisa mengelak. Sepurane[2], Cah Ayu! Ibu tidak bisa mempertahankan kalian. Jika Ibu tetap membawa kalian, Ibu justru akan kehilangan kalian. Ibu tidak punya pilihan. Sepurane, Cah Ayu! Ibu sangat menyayangi kalian. Ibu tidak bermaksud untuk meninggalkan kamu dan kakakmu,” sesalnya. Pertahananku runtuh. Aku terlalu kecil untuk memahami kebobrokan ayah waktu itu.
            Pangapunten[3], Bu! Aku sadar... kalau Ibu terpaksa melakukannya demi keselamatanku dan kakak. Maaf kalau aku pernah membenci Ibu. Maaf kalau aku sempat kecewa dan tidak mau memikirkan Ibu lagi. Maaf kalau aku sempat berpikir bahwa Ibu jahat. Pangapunten, Bu! Sekarang aku sadar, mengapa Ibu harus meninggalkanku,” tangisku pecah. Dua belas tahun aku tidak berjumpa dengannya. Aku berusaha membangun benteng pertahanan. Aku menolak untuk memikirkannya. Namun, satu pelukan ini cukup. Cukup untuk meruntuhkan benteng pertahanan yang sudah kubangun bertahun-tahun. Cukup untuk membuktikan ketulusan hatinya. Aku berbalik. Memeluknya erat. Takut kalau aku harus kehilangan dirinya untuk kedua kalinya.
            “Tak apa, Kinanthi. Ibu yang salah. Seharusnya, Ibu memperjuangkanmu. Sebagai permintaan maaf, mau menari dengan Ibu?” tanyanya dengan senyum yang meneduhkan. Tarian Gambyong di langit senja Rejowinangun, bukti ketulusan cinta antara aku dan ibu, sosok yang akan menjadi alasanku bertahan, mulai saat ini.



[1] Panggilan untuk anak perempuan
[2] Maaf dalam bahasa Jawa ngoko
[3] Maaf dalam bahasa Jawa krama




tinggalkan jejak di kolom komentar dan like
laisser une trace <3

No comments:

Post a Comment