Pasukan Jongkok Berdiri ‘93
Karya : nataustin_
Ada dua tipe orang di dunia ini. Pertama, kaum futuristis
yang menghargai keberadaan sekolah beserta tetek bengeknya sebagai suatu wadah
untuk meraih masa depan yang gemilang. Yang kedua adalah kaum konservatif yang
menghargai sekolah sebagai tempat bersua dengan kawan. Umumnya, penganut aliran
futuristis adalah mereka yang cerdas istimewa. Mereka menganggap guru sebagai
sosok yang patut dihargai dan dihormati. Di sisi lain, penganut aliran
konservatif biasanya adalah penghuni barisan belakang yang sering berontak dan
menganggap guru sebagai musuh yang patut dikerjai. Sekolah hanya membawa diri,
dengan wajah riang tanpa beban meski tugas seabrek. Namun, mereka inilah calon orang-orang
sukses.
Di antara kedua jenis orang di dunia ini, aku adalah penganut
aliran semifuturistis-konservatif. Aku sangat menghargai sekolah sebagai wadah
untuk meraih masa depan yang gemilang. Di lain sisi, aku adalah penghuni
barisan belakang yang siap mengerjai guru dengan sejuta keisengan. Tapi, nilaiku
cukup bagus untuk bisa menjadi juara paralel. Aku punya alasan yang cukup logis
mengapa aku tidak mau tunduk pada guru. Semua berawal dari sosok Sudibyo, wali
kelasku di SMA.
Bayangkan, bagaimana mungkin kamu bisa menghormati
seorang guru yang setiap kali ditanya tentang materi pelajaran, selalu menjawab
dengan satu kalimat, “Kamu kan sudah pintar, ngapain nanya?” Karena aku adalah tipe orang pembantah, lekas saja
mulutku berkata, “Kalau pintar, saya gak akan sekolah, Pak. Sudah saya beli
sekolahan ini.” Lagi-lagi, dia selalu menangkis perkataanku dengan menjawab,
“Buktinya, kamu masih sekolah. Butuh ijazah, ya? Makanya, jangan sok-sok gak
mau sekolah!”
Bagaimana mungkin kamu menghormati seorang guru yang
selalu menghukummu dengan hukuman yang tidak wajar setiap kali kamu melakukan
kesalahan kecil? Sudibyo itu adalah tipe guru yang suka menghukum siswanya
dengan hukuman angkatan militer. Agaknya, kita ini adalah calon tentara dan
polisi. Untuk setiap satu kata yang kita keluarkan kepada teman di saat ia
mengajar, kita harus melakukan 20 kali jongkok berdiri. Lebih parah lagi, dia
tidak mau menoleransi perkataan kita yang keluar dengan tujuan apapun.
Bayangkan, jika kamu memanggil temanmu karena tidak mendengar perkataan Sudibyo
botak itu, kamu sudah mengeluarkan minimal empat kata hanya untuk berkata, “Eh,
Wan, apa tadi?” Alhasil, kamu akan mendapat hadiah 80 kali jongkok berdiri.
Setiap kali kita berdalih, “Pak, saya lagi sakit. Nanti kalau saya pingsan gimana?” Dia selalu mempunyai jawaban
istimewa untuk membungkam perkataan kami, “Wah, justru bagus itu! Orang sakit
itu karena kurang olahraga. Biar kamu gak sakit, kamu jongkok berdiri 100
kali.”
Lebih lagi, guru botak berkacamata itu selalu memberi
soal ulangan yang susah dan tidak masuk akal. Bayangkan, bagaimana mungkin dia
menanyakan judul jurnal ilmiah terbaru yang memenangkan Penghargaan Nobel di
saat kita menghadapi ulangan tentang Koligatif Larutan? Parahnya, jurnal ilmiah
itu berhubungan dengan materi Fisika, bukan Kimia. Anak Olimpiade Fisika pun
tidak tahu jawaban dari pertanyaan konyol itu. Amarahku semakin memuncak ketika
dia bertemu dengan kami usai ulangan. Dia selalu memasang wajah gembira.
Katanya, “Saya itu senang kalau tidak ada anak yang bisa mengerjakan soal
ulangan saya.” Guru macam apa Sudibyo itu? Dan betul saja, nilai 30-an
menghiasi hasil ulangan kami. Nilai yang kami dapat pun cuma sebatas ongkos
tulis. Sekeras-kerasnya aku belajar, tetap saja nilaiku 30, maksimal 40. Gimana gak kesal?
Hal-hal seperti inilah yang membuat aku tidak bisa
menoleransi perlakuannya. Hanya karena tindakan konyol satu guru, aku
hampir-hampir membenci semua guru yang mengajarku. Perbuatan baik guru lain
tidak bisa menutupi kebobrokannya. Tapi di lain sisi, hal-hal seperti inilah
yang terus menantang aku untuk menjadi siswa berprestasi. Ikut olimpiade
sana-sini, ikut turnamen olahraga, mengumpulkan berpuluh-puluh medali. Semua
kulakukan demi membuktikan kepadanya bahwa aku bisa sukses tanpa bantuan
seorang guru. Aku ingin membuat mukanya merah padam ketika melihatku
memenangkan perlombaan. Menurutku, itu adalah cara yang paling efektif untuk
menghinanya.
Setidaknya, pandangan ini terus kuanut sampai aku lulus
kuliah. Setelah kuliah, aku mencoba peruntunganku di Jakarta. Di sinilah aku
bertemu dengan sejuta macam masalah. Kerja lembur, rekan bisnis yang curang,
bawahan yang rewel. Aku harus menyelesaikan semua masalah itu sendiri. Aku
harus belajar menghadapi keras dan pahitnya hidup. Entah mengapa, rasanya, ini
adalah hal yang biasa. Aku sudah sering menemuinya di masa sekolahku. Dari
sinilah aku sadar bahwa Pak Sudibyo adalah guru yang berjasa mendidikku menjadi
orang yang seperti sekarang. Aku sadar bahwa dia adalah guru yang sungguh memikirkan
masa depan siswanya, melatih siswanya untuk berpikir kritis, dan mampu
menghadapi setiap permasalahan tanpa bergantung pada orang lain. Dia jugalah
yang melatihku untuk menjadi pribadi yang disiplin dalam bekerja. Aku menyesal
pernah membencinya.
Tepat dua puluh lima tahun setelah kelulusanku, aku dan
teman-temanku memutuskan untuk mengadakan reuni perak. Aku berinisiatif menjadi
ketua panitia. Aku mengusulkan untuk membuat kaos bertuliskan “Terlatih Jongkok
Berdiri Sejak 1993” dengan karikatur siswa yang sedang jongkok berdiri di
hadapan guru botak berkacamata. Entah mengapa, itu adalah satu-satunya ide yang
terlintas di benakku ketika kita sedang membahas kaos reuni. Tanpa pikir
panjang, semua panitia setuju untuk menggunakan frasa itu. Alasannya cukup
jelas, karena semua orang yang terlibat dalam kepanitiaan, bahkan semua siswa
di sekolah kami, pernah dihukum oleh Pak Sudibyo. Namun, kami semua juga
menyadari begitu berharganya didikannya untuk masa depan kami.
Pada hari-H reuni perak angkatan 1993, kami memberikan
hadiah kepada Pak Sudibyo. Baju itu kami persembahkan kepadanya sebagai bentuk
ucapan syukur dan penghargaan kami atas didikan beliau. Di sana, aku, selaku
ketua panitia memberikan ucapan terima kasih kepada Pak Sudibyo. Aku juga
sempat mengaku dosa mengingat perbuatan-perbuatanku yang selalu melecehkannya
sebagai seorang guru. Sambutanku aku akhiri dengan sungkem di hadapan kakinya.
Aku meneteskan air mata ketika menyadari uban yang mulai menghiasi kepalanya.
Waktu berlalu begitu cepat, dia, guruku telah menjadi renta. Kakinya tak lagi sanggup
menahan berat badannya. Dia hanya
tertawa melihat tangisanku. Tak habis pikir, dia masih bisa menabok pipiku yang
basah karena air mata. “Sudah besar kok nangis, kayak bayi!” ucapnya yang
membuatku tertawa kecil. Tak banyak bicara, aku segera mendorong kursi rodanya
ke atas panggung dan memberikan pengeras suara kepadanya. Dari sekian banyak
cara untuk mengawali sambutannya, ia memilih untuk mengawalinya dengan kalimat,
“Sudah tobat? Sudah sadar, ya?” Cukup membuatku kesal, tapi hal ini benar
adanya. Kami baru menyadari betapa berharganya didikannya setelah kami
menghadapi hidup yang sesungguhnya. Kami semua menjawab dengan ketawa. Sebagai
balasan, “Ditanya kok ketawa? Sudah berani, ya? Ayo, semua, jongkok berdiri 10
kali!” “Cuma 10 kali, Pak? Kita kan sudah terlatih jongkok berdiri sejak 1993,”
celetukku. “10 kali saja, nanti reumatik. Sudah tua, kok gak ngaca!” jawabnya diselingi tawa yang
membuat kami ikut tersenyum bahagia.
Di umurnya yang ke-87, Tuhan memanggil Pak Sudibyo. Hatiku
campur aduk. Kaget, sedih, senang. Sedih karena aku kehilangan sosok pahlawan
yang telah mendidik aku mati-matian. Senang karena melihat dia terbebas dari
sakit penyakit yang dideritanya.
Hidup itu bukan soal
pintar pelajaran. Hidup itu bukan soal menang perlombaan. Hidup itu lebih dari
sekadar pelajaran dan perlombaan. Pintar, itu bagus. Menang lomba, itu bagus.
Tapi, semuanya tidak berarti kalau kamu tidak bisa bertahan di kehidupan yang
sesungguhnya.
Kamu adalah anak tercerdas
yang pernah saya temui. Tapi, kamu juga siswa ternakal yang pernah saya jumpai.
Pertama kali melihat kamu, saya langsung tahu kalau kamu adalah siswa spesial yang
membutuhkan didikan saya. Saya membawa kamu dalam doa. Saya berharap, suatu
saat, Tuhan memberi kesempatan bagi saya untuk mendidikmu. Dan betul, kamu
menjadi murid wali saya selama dua tahun berturut-turut. Saya senang dan
semakin yakin bahwa kamu adalah titipan Tuhan bagi saya. Semakin kamu nakal,
semakin saya tega memarahi kamu. Tapi, itu semua demi kebaikanmu di masa depan.
Saya yakin, kamu sudah menyadarinya sekarang.
Saya meminta maaf kalau
seringkali membuat kamu sakit hati, marah, jengkel, bahkan kamu capek gara-gara
jongkok berdiri. Tapi, percayalah, itu semua untuk mendidik kamu. Saya berpesan
sama kamu, jika kamu mempunyai anak, didiklah anakmu dengan benar. Didik dia
agar dia bisa menjadi pribadi yang disiplin dan bertanggung jawab sepertimu.
Ini semua demi kebaikan masa depannya.
Saya bangga punya murid
seperti kamu, Andika. Tetaplah jadi pribadi yang rendah hati, bertanggung
jawab, disiplin, dan takut akan Tuhan. Tuhan besertamu dalam setiap langkah
kehidupanmu.
Salam Jongkok Berdiri,
Sudibyo Kresnaeni
Segera kuusap air mata yang membasahi pipiku. Bersamaan
dengan habisnya surat ini, kumantapkan diriku untuk mendirikan sekolah dan menjadi
seorang guru di usiaku yang tak lagi muda. Terima kasih, Pak Sudibyo. Terima
kasih. Saya janji, saya akan menjadi pribadi yang bapak inginkan. Saya janji
akan mendidik generasi muda Indonesia. Baktiku untuk Indonesia!
tinggalkan jejak di kolom komentar dan like
laisser une trace <3
No comments:
Post a Comment